Kenangan Malam dan Kamera Jadul yang Masih Kupakai

Kenangan Malam dan Kamera Jadul yang Masih Kupakai

Pukul dua pagi, musim panas 2018, saya duduk di kursi tuang—kamera film tua tergantung di leher, laptop terbuka, dan kamar kos yang redup penuh kabel. Di layar, batch pelatihan terakhir menunjukkan kurva loss yang menurun perlahan. Di kepala saya melintas kontras antara dua dunia: kata “kenangan” muncul bersama metadata gambar RAW; suara jarum jam beradu dengan suara kipas GPU. Kamera jadul itu bukan sekadar properti estetika. Ia adalah sumber data yang membuat saya belajar tentang batasan dan peluang machine learning pada kondisi nyata—terutama malam hari dengan noise, blur, dan karakter sensor yang unik.

Malam yang Panjang dan Kamera Tua

Saya membeli Canon EOS 300V bekas dari pasar loak tahun 2015, lalu memakainya untuk memotret teman-teman setelah kelas salsa di delraybeachballroom. Kamera itu menangkap tonal warna hangat yang tidak ada pada sensor modern—grain berbeda, highlight yang “jatuh” secara dramatis. Awalnya saya hanya ingin merekam momen. Kemudian saya mulai berpikir: bagaimana model denoising atau low-light enhancement menghadapi foto yang diambil dari kamera dengan ciri fisik seperti ini? Tantangannya jelas: distribusi noise bukan Gaussian sederhana; ada pola demosaicing, clipping, dan artefak scan film yang ‘mengeluh’ pada model konvensional.

Membangun Dataset dari Foto Jadul

Mengumpulkan data jadi fase penting. Saya memindai negatif dan menyimpan RAW dari kamera digital yang lebih tua—sekitar 3.200 frame. Saya membuat pasangan input-target dengan menggabungkan long exposure sebagai ground truth ketika memungkinkan, dan mensimulasikan noise Poisson-Gaussian untuk variasi. Patch 256×256; augmentasi meliputi rotasi, flipping, random gamma, dan simulasi ISO tinggi. Ada momen frustrasi: satu seri foto malam yang saya ambil di stasiun kereta, lampu sodium membuat warna berubah aneh. Internal monolog saya: “Apakah ini masih boleh disebut data?” Jawabannya: ya. Justru keragaman inilah yang membuat model lebih robust.

Saya memakai preprocessing yang tidak biasa: bekerja pada RAW sebelum demosaicing, memasukkan operasi ISP (demosaic → white balance → tone map) sebagai bagian dari pipeline pelatihan. Teknik ini memungkinkan model belajar koreksi yang spesifik pada karakter kamera jadul, bukan hanya menghapuskannya.

Melatih Model dan Memahami Batasannya

Model pertama saya adalah U-Net dengan residual block, loss kombinasi L1 + perceptual (VGG feature). Parameter yang saya gunakan: Adam lr=1e-4, batch size 8, 50 epoch, early stopping dengan patience 5. Hasilnya? PSNR meningkat, tetapi kadang wajah yang tadinya hangat menjadi steril. Ini momen pelajaran utama: metrik kuantitatif tidak selalu mencerminkan nilai estetis atau kenangan yang hendak dipertahankan.

Saya mencoba fine-tuning dari pre-trained denoiser (DnCNN), lalu memodifikasi loss dengan term yang mempertahankan tonal karakter (feature regularizer). Saya juga bereksperimen dengan GAN untuk low-light enhancement—adversarial loss membantu subyektivitas fotos itu, tetapi menambah risiko hallucination: objek kecil muncul dari noise. Pada satu malam, saya melihat model “menambahkan” bayangan orang yang sebenarnya tidak ada. Saya berhenti sejenak. Internal dialog: “Lebih baik resolusi yang jujur atau foto yang terasa benar tapi tidak akurat?” Jawabannya bergantung pada konteks: untuk arsip pribadi, keaslian lebih penting; untuk estetika, kompromi bisa diterima.

Apa yang Kuambil dari Semua Malam Ini

Akhirnya, hasil terbaik bukan model paling canggih, tetapi pipeline yang memahami konteks pengambilan gambar. Saya menggabungkan pendekatan: preprocessing RAW-aware, transfer learning, loss gabungan, dan validasi subyektif melalui sesi melihat bersama teman. Malam-malam panjang itu mengajarkan satu hal: machine learning adalah alat yang kuat, tapi ia bekerja paling baik bila kita memberi konteks—sensor, cerita, tujuan pengguna. Kamera jadul saya masih kupakai; kadang saya sengaja memotret pada ISO tinggi untuk “mengusik” model saya, mencoba melihat respon sistem terhadap ketidaksempurnaan.

Jika saya memberi saran kepada engineer yang mulai bekerja dengan data visual dunia nyata: jangan hapus karakter terlalu cepat. Simpan sampel mentah, dokumentasikan kondisi pengambilan (waktu, lensa, eksposur), dan evaluasi hasil dengan mata manusia, bukan hanya angka. Ingat juga: nostalgia bukan musuh. Kadang yang dicari pengguna adalah feel, bukan fidelity mutlak. Itu pelajaran yang saya bawa dari malam-malam panjang, dari kamera jadul yang masih kupakai, sampai model yang kini menjadi lebih peka terhadap cerita di balik setiap piksel.

Gimana Rasanya Kerja Bareng AI Setiap Hari?

Pagi Pertama: Ketemu AI di Studio

Pagi itu, jam 08.30, saya duduk di meja kerja yang penuh sketsa kertas dan secangkir kopi yang mulai dingin. Studio kecil di lantai tiga gedung tua itu selalu berisik: suara AC, tetesan air dari pipa yang kurang rapi, dan playlist lo-fi yang tak pernah berhenti. Klien minta “ilustrasi promo event ballroom yang elegan dan hangat” untuk acara akhir bulan — 48 jam tersisa. Saya ingat berpikir, “Kebetulan atau tidak, ini saatnya mencoba AI.”

Kenapa? Karena saya sudah sering merasa terjebak antara konsep visual yang saya bayangkan dan waktu yang menekan. Ini bukan soal mengganti proses manual. Ini soal menambah alat yang bisa mempercepat fase eksplorasi. Saya membuka software, mengetik prompt pertama, dan menunggu. Sensasi menegangkan. Seperti mengirim pesan penting dan berharap jawaban yang jujur.

Tantangan: Ketika Ide dan Deadline Berbeda Bahasa

Konflik langsung muncul. Output AI yang pertama: komposisi cantik tapi terasa klise—meja panjang, lilin, dan lampu gantung yang terlalu dramatis. Tidak salah, tapi juga bukan itu yang saya cari. Saya berbisik, “Lebih hangat. Kurangi dramatis. Tambahkan tekstur kertas.” Itu dialog internal yang terus saya ulang, sambil menyesuaikan prompt: parameter warna, referensi artis, moodboard singkat. Saya bahkan membuka halaman venue yang dikirim klien — lucunya link mereka mengarah ke contoh ballroom yang mirip dengan delraybeachballroom — untuk memastikan arsitektur dan palet warnanya.

Di sini saya belajar satu hal cepat: AI memberi banyak opsi, tapi tidak langsung tahu konteks klien. Semua output hanya permukaan. Tugas kita sebagai ilustrator adalah menggali makna di balik brief, lalu memandu AI ke sana. Itu proses kolaboratif, bukan outsourcing.

Proses: Dari Prompt ke Garis Besar

Proses saya selama dua hari itu berulang: prompt → refine → mask → retouch. Ketika sebuah gambar mendekati suasana yang saya inginkan, saya ekspor ke Photoshop; di sana saya lakukan paint-over dan penyesuaian komposisi. Teknik yang sering saya gunakan: gabungkan dua sampai tiga hasil AI dalam layer terpisah, gunakan layer mask untuk memadukan bagian terbaik, lalu tambahkan tekstur brush manual—garis tangan saya—untuk menjaga karakter ilustrasi.

Saya ingat jeda kecil ketika seorang anggota tim lewat dan bertanya, “Kok serius banget?” Saya jawab, “Ini prosesnya. AI dapat ide, tapi detail manusia yang membuatnya valid.” Perasaan antara lega dan was-was sering muncul. Lega karena iterasi jadi cepat; was-was karena takut hilangnya ‘tangan’ si ilustrator. Saya atasi itu dengan aturan pribadi: setiap proyek harus punya minimal 40% elemen yang dibuat manual atau diubah secara signifikan dari output AI.

Teknisnya juga ada hal-hal kecil yang penting: menjaga DPI 300 untuk cetak, menyiapkan versi vektor untuk logo event, dan memastikan warna CMYK tetap konsisten. Itu bukan hal yang AI selalu perhitungkan, tapi itu yang membuat pekerjaan profesional tetap rapi.

Hasil, Reaksi, dan Pelajaran

Di jam ke-44 saya kirim final ke klien. Balasan datang cepat: “Tepat sekali—hangat dan elegan.” Senang? Sangat. Tapi ada yang lebih berharga: proses itu mengubah cara saya bekerja. AI mempercepat eksplorasi dan membuka ide-ide yang sebelumnya sulit saya capai saat terjebak blok kreatif. Namun, peran manusia tetap krusial—memilih, menafsirkan, dan memberi nyawa pada gambar.

Pembelajaran praktis yang saya pegang sekarang: pertama, gunakan AI sebagai sparring partner, bukan pengganti. Kedua, buat aturan kerja yang menjaga orisinalitas—misalnya catatan edit manual dan transparansi ke klien bila perlu. Ketiga, terus pelajari teknik post-processing; kemampuan ini yang membuat output AI jadi karya Anda.

Akhirnya, bekerja bareng AI setiap hari itu seperti bermitra dengan kolega yang super cepat tapi netral: ia tak punya intuisi emosional, tapi punya kapasitas eksperimen tak terbatas. Tugas kita adalah memberi tujuan, konteks, dan sentuhan akhir manusia. Kalau Anda siap beradaptasi, AI akan memperluas kreativitas Anda—dengan syarat Anda tetap memegang kemudi.